Serabi Notosuman yang tersohor di seantero Solo pada awalnya dirintis oleh pasangan suami istri, Hoo Geng Hok dan Tan Giok Lan pada tahun 1923. Tadinya pasangan suami istri ini seringkali menerima pesanan apem dari para tetangganya. Lama-kelamaan kelezatan resep apem dari pasangan suami istri ini semakin populer dan mereka pun mulai mengembangkan resep serabi. Dari resep serabi tradisional inilah bermula cikal bakal Serabi Notosuman yang kini dikenal sebagai salah satu oleh-oleh khas Solo. Nama Serabi Notosuman sendiri diambil dari nama jalan Notosuman di Solo, yang kini sudah berganti nama menjadi Jl. Muh Yamin. Sejak dirintis oleh Hoo Geng Hok dan Tan Giok Lan, kini kedai Serabi Notosuman sudah diteruskan oleh generasi keempat. Kualitas rasa dan bahan baku tetap diutamakan agar rasa serabinya sama seperti resep turun temurun yang diwariskan oleh sang buyut. Salah satu rahasia kelezatan Serabi Notosuman adalah penggunaan beras Cendani yang berkualitas dan sengaja ditumbuk sendiri untuk menjaga kualitas rasa, tekstur dan kebersihannya. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan Serabi Notosuman sebenarnya biasa saja. Serabi Notosuman hanya menggunakan tepung beras, pandan, gula, santan, garam dan vanila. Karena menggunakan bahan-bahan alami tanpa pengawet, tak heran bila Serabi Notosuman ini hanya dapat bertahan selama 24 jam saja. Jadi kita harus bergegas memakannya agar kita bisa memperoleh citarasa khas yang lezat. Sejak pertama kali dibuat hingga saat ini, Serabi Notosuman tetap konsisten menyiapkan 2 varian rasa saja yakni rasa original dan coklat. Pemilik kedai Serabi Notosuman memang sengaja tidak mengikuti perkembangan zaman dengan menambahkan varian rasa seperti keju, strawberry, pandan atau durian dengan alasan untuk mempertahankan konsistensi rasa original dari resep serabi yang sudah diwariskan. Sekali waktu, sang generasi penerus pernah mencoba membuat serabi dengan tambahan nangka. Namun ternyata rasa nangka tersebut justru lebih dominan dan malah menutupi rasa khas serabi. Akhirnya pembuatan varian rasa serabi pun urung dilakukan. Sedangkan untuk urusan pengemasan, Serabi Notosuman memberikan sedikit inovasi dengan menggulung serabi dan membungkusnya menggunakan daun pisang. Serabi Notosuman yang sudah dibungkus daun pisang aromanya akan jadi lebih sedap dan mudah disantap karena tak mengotori tangan sehingga praktis untuk disantap di berbagai acara. Sebagai makanan khas, Serabi Notosuman menempati posisi penting dalam kehidupan masyarakat di Surakarta. Bahkan bisa dikatakan, tidak ada orang Surakarta yang tidak kenal dengan Serabi Notosuman. Berikut ini ulasan mengenai perkembangan Serabi Notosuman dari generasi ke-1 sampai generasi ke-4. Perkembangan Serabi Notosuman dari generasi ke generasi 1. Generasi ke-1 Tahun 1923-1955 Serabi Notosuman pertama kali dirintis pada tahun 1923 oleh Ny. Hoo Ging Hok. Usaha Serabi ini dikelola bersama suaminya Tan Giok Lan. Awalnya Serabi Notosuman lahir dari ketidaksengajaan. Menurut Hoo Khik Nio, anak dari Ny. Hoo Ging Hok dan Tan Giok Lan, pada awal mulanya, orang tua Hoo Khik Nio adalah pembuat serabi pertama kali di Kota Surakarta. Itu terjadi tanpa disengaja, awalnya tetangga meminta dibuatkan apem untuk selamatan. Karena apem yang dibuat Ny. Hoo Ging Hok enak, tetangganya memesan kembali. Dari situlah Ny. Hoo Ging Hok awalnya berjualan apem. Suatu hari, ada seorang pelanggan minta dibuatkan apem yang bentuknya lebih pipih. Lantaran bentuknya yang beda, pelanggan itu menyebutnya serabi. Sejak itulah makanan apem pipih itu dikenal dengan nama serabi. Di luar dugaan, serabi justru lebih digemari ketimbang apem. Hingga akhirnya orang tua Hoo Khik Nio beralih menjadi pengusaha serabi yang cukup laris. Ny. Hoo Ging Hok sering mendapat pesanan dari Keraton Kasunanan Surakarta untuk membuat apem yang digunakan untuk acara ruwahan. Kemudian atas inisiatif sendiri, pinggiran apem tersebut diberi bingkai (pinggiran). Jadi bentuknya sudah tidak seperti apem, tapi seperti bentuk serabi yang dikenal saat ini. Ternyata tanggapan masyarakat Surakarta kala itu cukup bagus. Mereka menyukai apem kreasi Ny. Hoo Ging Hok. Karena itulah, dia menekuni usaha itu hingga pindah tempat tiga kali. Tempat berjualan Serabi Notosuman pertama kali di Jalan Veteran, kemudian setelah kontrak habis warung pindah ke Jalan Yos Sudarso. Dari Jalan Yos Sudarso pindah lagi ke Jalan Moh. Yamin No. 24 Solo (yang dulu bernama Notosuman) sampai sekarang. Aktivitas berjualan Serabi Notosuman dimulai sejak pukul 03.00 WIB. Bila ditelusuri lebih dalam hal ini rupanya memiliki kaitan sejarah dengan perilaku masyarakat Surakarta tempo doeloe yang sering tirakat (jalan kaki) dan keluar pada malam hari lalu mampir di warung hik. Ny. Hoo Ging Hok membuat serabi dengan bahan dan cara pembuatan yang tidak jauh berbeda dengan kue apem. Karena rasa serabi dianggap lebih enak dan kebersihannya juga terjamin, makin lama makin banyak pembeli yang datang. Serabi ini dikenal dengan Serabi Notosuman, karena pembuatannya berada di Kampung Notosuman (yang sekarang berganti menjadi Jalan Mohammad Yamin), maka serabi ini kemudian diberi nama Serabi Notosuman. Bahan baku pembuatan Serabi Notosuman tidak jauh berbeda dengan pembuatan apem, yaitu terdiri dari tepung beras, gula pasir dan santan. Beras yang digunakan adalah beras cendani dari Cianjur. Pembuatan tepung dilakukan dengan cara ditumbuk sendiri. Proses pembuatan Serabi Notosuman dengan cara dimasak di atas wajan kecil yang terbuat dari tanah liat dan mengunakan keren/anglo dan arang sebagai bahan bakar. Serabi Notosuman yang pertama kali diproduksi hanya memiliki rasa original saja. Kemudian karena ramainya pembeli yang datang Ny. Hoo Ging Hok mendapatkan ide untuk membuat inovasi. Ny. Hoo Ging Hok membuat Serabi Notosuamn dengan variasi penambahan coklat dan nangka. Serabi Notosuman yang ditambahkan nangka di atasnya membuat rasa nangka lebih dominan dibandingkan rasa Serabi Notosuman itu sendiri, maka pemilihan rasa coklat lebih dipilih untuk menambah inovasi baru dan banyak pembeli yang menyukainya. Dari situlah akhirnya Serabi Notosuman sampai saat ini hanya memproduksi dua varian rasa saja yaitu original dan rasa coklat. Serabi Notosuman semakin berkembang dan menjadi makanan yang digemari masyarakat Surakarta. Ketika Ny. Hoo Ging Hok dan Tan Giok Lan meninggal usaha itu diwariskan kepada putrinya Ny. Hoo Khik Nio, yang semula adalah pembatik di kawasan Serengan, Surakarta. 2. Generasi ke-2 Tahun 1955-1987 Ny. Hoo Khik Nio sebagai pewaris generasi ke-2 Serabi Notosuman memiliki nama Jawa Margo Hutomo. Nama Jawa yang melekat pada dirinya ini karena nama dari suaminya. Sebagai masyarakat yang tinggal di Jawa Ny. Hoo Khik Nio lebih sering dipanggil Mak Margo. Ny. Hoo Khik Nio sebagai generasi ke-2 gigih menjaga usaha Serabi yang diwariskan orang tuanya ini. Ny. Hoo Khik Nio sebagai pewaris Serabi Notosuman dengan gigih mempertahankan usaha ini. Resep dan rasa Serabi Notosuman tidak mengalami perubahan, sehingga semakin banyak pelanggan yang membeli Serabi Notosuman. Rasa dan bentuk Serabi Notosuman masih sama dari sebelumnya yaitu hanya ada dua varian rasa saja, original dan rasa coklat. Rasa original bentuknya polos berwarna putih santan, di atasnya hanya diberi santan cair, sedang rasa coklat ada penambahan topping coklat di atasnya. Penyajiannya pun juga masih tetap sama seperti saat ibunya berjualan yaitu berbentuk sesuai aslinya bulat dan ditaruh di atas daun pisang. Sama seperti ibunya, Ny. Hoo Khik Nio menjajakan Serabi Notosuman pada pukul 03.00 WIB. Bagi masyarakat Surakarta, sudah terbiasa orang berjualan jajanan di malam hari. Pada jam malam hari biasanya orang merasakan lapar dan tidak ingin memakan makanan yang berat seperti nasi, dan untuk mengantikannya masyarakat mencari jajanan yang bisa langsung dinikmati seperti Serabi Notosuman. Karena banyaknya pelanggan Serabi Notosuman, pembeli harus rela mengantri dan bahkan bila tidak lebih awal bisa kehabisan. Pada saat usaha Serabi Notosuman dipegang oleh generasi kedua tempat berjualan sudah mulai menetap di Notosuman. Warung ini cukup sederhana, tidak ada tempat duduk untuk pembeli. Bahkan letaknya juga persis berada di tepi jalan tanpa tempat parkir. Tetapi meski begitu, Serabi Notosuman sangat popular. Tidak hanya wisatawan yang berkunjung ke Surakarta yang sudah merasakan nikmatnya serabi ini, Presiden pertama RI Soekarno pun pernah merasakan enaknya Serabi Notosuman. Sejak saat itu Serabi Notosuman semakin kebanjiran pembeli. Serabi Notosuman sebagai jajanan yang dijajakan di pinggir jalan beranjak naik kelas karena Serabi Notosuman diborong oleh Presiden Pertama RI. Hal ini berpengaruh besar terhadap perkembangan Serabi Notosuman secara positif. Setelah puluhan tahun usaha ini berdiri Serabi Notosuman diwariskan lagi oleh Hoo Khik Nio (Ny. Margo Hutomo) kepada empat dari enam anaknya, dikarenakan kondisi fisiknya yang tak memungkinkan lagi untuk bekerja, sementara pesanan terus mengalir. Keempat pewarisnya adalah Handayani dan Buntoro di Notosuman, Lidiawati di kampung Kratonan, dan Bambang di Jalan Gejayan, Yogya. Sedangkan dua anak Hoo Khik Nio lainnya, Eliani dan Yusuf, memilih jualan mie di Jalan Kaliwingko, Surakarta. 3. Generasi Ke-3 Tahun 1987-2003 Pada tahun 1987 Serabi Notosuman beralih ke generasi ke-3. Penerus generasi ke-3 dari Serabi Notosuman yaitu Nyonya Lidiawati atau lebih dikenal dengan Ny. Lidia. Nyonya Lidia adalah anak kelima dari Nyonya Hoo Khik Nio. Beliau mewarisi berjualan serabi pada usia 29 tahun. Menurut Nyonya Lidia, dirinya dulu pada waktu remaja sudah ikut membantu ibunya Nyonya Hoo Khik Nio berjualan serabi, bahkan saat neneknya Nyonya Hoo Ging Hok berjualan serabi Nyonya Lidia sudah sering diajak ibunya berjualan. Sehingga tidak heran apabila Nyonya Lidia dapat mewarisi dalam membuat Serabi Notosuman yang legendaris itu. Selain mempertahankan resep asli, Nyonya Lidyawati juga berusaha keras mempertahankan kualitas rasa dengan membuat serabi dari tepung beras pilihan. Salah satu ciri khas Serabi Notosuman adalah mereka menumbuk sendiri beras yang digunakan sebagai bahan baku membuat serabi. Beras yang digunakan adalah beras dengan kualitas tinggi, yaitu beras cendani dari Cianjur. Hal inilah yang membedakan Serabi Notosuman dengan serabi Solo lainnya. Selain tetap mengutamakan rasa dan mutu, juga pelayanan. Pada awalnya, Nyonya Lidia memegang usaha Serabi Notosuman sendiri, dia hanya dibantu beberapa asisten rumah tangga. Karena usianya yang masih muda, beliau merasa kewalahan dengan banyaknya pembeli serabi setiap hari. Nyonya Lidia benar-benar menjaga usaha yang diwariskan secara turun-temurun ini. Karena melihat kegigihan Nyonya Lidia dalam mengelola usaha Serabi Notosuman, suaminya kemudian memutuskan untuk pensiun dari pekerjaannya dan memilih membantu Nyonya Lidia dalam mengelola usaha berjualan Serabi Notosuman. Berbeda dengan ketika dipegang oleh pendahulunya yang mulai berjualan pada pukul 03.00 WIB, pada saat generasi ke-3 aktivitas pembuatan serabi dimulai sejak pukul 04.00 WIB dengan membuat adonan tepung beras, gula pasir dan santan. Adonan yang sudah jadi lalu dimasukan dalam wajan kecil dari tanah liat di atas tungku kecil atau anglo dengan bahan bakar arang. Pembeli yang datang langsung melihat pembuatan kue ini. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pembeli yang datang ke toko. Kegiatan berjualan serabi hingga pukul 17.00 WIB, akan tetapi toko legendaris ini bisa tutup lebih awal apabila serabi sudah habis. Pada saat Serabi Notosuman dipegang oleh generasi ke-3 mulai merekrut karyawan. Hal ini dikarenakan semakin banyak pembeli sehingga jika hanya keluarga dan asisten rumah tangganya saja yang membuat tidak akan dapat memenuhi jumlah kuota pembeli yang begitu banyak. Dalam sehari Nyonya Lidia dapat menghabiskan kurang lebih 100 kg bahan untuk membuat Serabi Notosuman. Jumlah karyawan Serabi Notosuman tidak tentu, karena ada yang keluar dan masuk, kebanyakan karyawan yang keluar kemudian berjualan sendiri. Pada generasi ke-3 ini pula Serabi Notosuman melakukan inovasi dalam penyajiannya, serabi-serabi yang dulu dijajakan bundar sesuai dengan bentuk serabi aslinya, kemudian ada variasi perubahan dalam penyajiannya dengan digulung menggunakan daun pisang dan dikemas dengan menggunakan kemasan kotak berwarna hijau. Tiap kemasan berisi 10 biji serabi. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pelanggan saat membawa Serabi Notosuman sebagai oleh-oleh. Pada tahun 1992 Serabi Notosuman sudah mematenkan merk dagangnya, dengan merk dagang Serabi Solo Notosuman sebagai salah satu makanan khas Kota Surakarta yang sudah berdiri sejak tahun 1923, hal ini bertujuan untuk menjaga keaslian Serabi Notosuman. Serabi Notosuman telah memenuhi persyaratan Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) berdasarkan peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia dengan P-IRT No. 3063372011002-16. Selain itu Serabi Notosuman juga terdaftar sebagai makanan halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1992 dengan No. 15100006580812. Selain Presiden pertama RI Soekarno yang menjadi pelanggan, Serabi Notosuman juga menjadi klangenan Presiden RI ke 2 Suharto dan keluarga Cendana. Serabi Notosuman selalu menjadi salah satu menu wajib bagi keluarga Cendana jika mengadakan sebuah acara. Ketika menjabat jadi Presiden RI Pak Harto selalu memesan Serabi Notosuman jika Istana Negara kedatangan tamu negara. Sehingga banyak petinggi-petinggi yang juga menjadi pelanggan Serabi Notosuman. Tidak heran jika Serabi Notosuman semakin berkembang dan memiliki banyak pelanggan. Pada tahun 1997 Nyonya Lidia mendapat undangan khusus dari Keluarga Cendana. Tepatnya pada bulan November tahun 1997 Nyonya Lidia diundang untuk membuat Serabi di Cendana pada saat ada acara penyambutan Sultan Brunei dan pameran di salah satu hotel bintang lima di Jakarta. 4. Generasi ke-4 Tahun 2003-sekarang Pada tahun 2003 Serabi Notosuman mulai membuka cabang di beberapa daerah di Jawa Tengah, yaitu di Kudus, Boyolali dan Yogyakarta. Masing-masing cabang dikelola langsung oleh generasi ke 4 yaitu anak-anak dari Nyonya Lidia. Cabang pertama di kota Yogyakarta dipegang langsung oleh anak pertama Nyonya Lidia yaitu Yohanes Krismanto. Pada tahun yang sama Serabi Notosuman kembali membuka cabang di beberapa Kota seperti di Boyolali, Semarang dan Kudus. Masing-masing cabang dikelola langsung oleh generasi ke-4 yaitu anak-anak Nyonya Lidia. Cabang Boyolali dipegang oleh Markus Kristiono dan Matius Krismono, cabang Kudus dikelola oleh Lukas Kristanto, sedangkan cabang Semarang dikelola oleh anak angkatnya yaitu Susi Lenawati. Serabi Notosuman generasi ke-4 tidak berbeda jauh dengan generasi ke-3, karena sudah terbiasa dengan aktifitas membuat Serabi Notosuman sejak kecil mereka mampu membuat serabi yang sama dengan serabi generasi sebelumnya. Hal inilah yang juga dirasakan oleh generasi ke-3 yang terbiasa dengan kehidupan berjualan serabi sejak ibunya berjualan. Sehingga tidak ada bekal khusus yang diterima dalam membuat Serabi Notosuman. Selain itu juga tidak ada resep khusus yang disembunyikan, bahkan semua karyawan juga bisa membuat kue serabi dengan resep asli. Teknik pembuatan Serabi Notosuman generasi ke-4 juga tidak berbeda jauh dengan generasi ke-3. Selain menjadi makanan khas Kota Surakarta, pembuatan serabi juga memiliki keunikan yaitu pengunjung dapat melihat pembuatan serabi. Hal ini karena proses pembuatan serabi dilakukan di depan toko. Proses pembuatan tidak lagi memakai tungku/anglo dan arang tetapi sudah semi modern. Wajan-wajan kecil disusun di atas meja-meja alumunium dengan kompor gas sebagai bahan bakarnya. Serabi Notosuman tak termakan zaman tetap menjadi favorit selama empat generasi. Jajanan rakyat yang berubah menjadi jajanan berkelas ini ternyata tak lekang oleh zaman. Di tengah serbuan jajanan impor, ia tetap laris. Bahkan sering dijadikan oleh-oleh mereka yang keluar negeri. Pembukaan cabang Serabi Notosuman semakin memperjelas perkembangan kuliner legendaris ini. Sebagai generasi ke-3 Serabi Notosuman Nyonya Lidia tidak ingin menjual nama kepada pihak lain. Hal ini karena untuk tetap menjaga resep Serabi Notosuman sehingga terjaga keasliannya. Dengan dibukanya cabang di berbagai daerah membuat Serabi Notosuman semakin dikenal sehingga pelangganpun semakin bertambah. Bahan Baku dan cara pembuatan Industri Serabi Notosuman memiliki resep tersendiri baik dalam pemilihan bahan baku maupun cara pembuatannya, Berikut ini merupakan bahan dan proses pembuatan serabi secara umum; a. Bahan baku : - 500 gr tepung beras - ? sdt soda kue - 250 gr gula cair - 1 butir kuning telur - 750 ml santan kental - 100 cc air pandan - 600 cc air - aneka topping sesuai selera b. Cara Membuat : - Masukkan tepung beras ke dalalm baskom, kemudian masukkan air sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai kental. - Masukkan gula cair dan soda kue. Aduk sampai rata dan diamkan selama 45 menit. Ini disebut adonan utama. Adonan ini hanya bisa bertahan sampai tiga jam sebelum dimasak. - Panaskan cetakan di atas api, oles permukaannya dengan menggunakan minyak goreng. - Setelah adonan utama didiamkan 45 menit, maka adonan utama siap digunakan untuk membuat serabi. - Masukkan 1 sendok sayur besar adonan utama sambil ditekan dan diratakan bagian tengah adonan supaya menghasilkan bagian pinggir yang tipis. - Setelah adonan setengah matang, tuang 1 sendok sayur kecil santan kental matang, lalu ditutup. - Bila ingin memberi topping, buka tutup cetakan, taburkan topping dan tutup kembali. Tunggu hingga serabi matang. - Bila bagian pinggir yang tipis sudah berwarna kecoklatan, berarti serabi sudah matang dan siap dikeluarkan dari cetakan. Sebelum dimasukkan ke dalam kardus kemasan, serabi terlebih dahulu digulung dan dibalut dengan daun pisang sehingga memudahkan dalam menyantap dan tidak terasa lengket di tangan. Serabi diproduksi secara bertahap dalam artian jika persedian telah habis dan ada permintaan atau pesanan dari pembeli, maka serabi baru akan diproduksi lagi.